Jumat, 29 Februari 2008

bi rasihisme

nyaris 20 tahun saya tidak ketemu dengannya, padahal nyaris 6 tahun saya diurusnya sejak bayi, jika tidak diingatkan, nyaris saja saya lupa....nyaris.

hehe, kok kata nyaris jadi favorit saya pagi ini.

namanya bi rasih, ia menyebutnya dirinya nini, pantas memang disebut nini, sudah keriput, ompong, suara bicaranya pun sudah seperti nenek-nenek di sandiwara radio tempo dulu. namun karena tinggal di perbukitan yang segar dengan jalan setapak yang naik turun, badannya yang berusia 80an itu masih nampak cenghar (tau cenghar ga? cenghar adalah bugar dalam bahasa sunda). bi rasih ini pengasuh saya waktu bayi, karena ibu saya sibuk bekerja, saya hampir saja percaya bi rasih ini ibu kandung saya.

bertemu seminggu lalu di kampungnya membuat saya terkaget-kaget. mimpi apa coba di keramaian pasar kampung tiba-tiba dipeluk nenek-nenek yang nampak girang setengah mati seperti ketemu cinta pertamanya. untung saja dia cepat menyebut dirinya, dan ingatan saya yang payah ini tiba-tiba saja agak cepat bekerja. jadilah kangen-kangenan (sejujurnya, saya juga kangen banget sama bi rasih ini) di tempat umum itu, meski hanya seperempat jam, kejadian itu cukup membekas dalam kepala saya.

begini bekasnya sodara sodari..
saya berpikir tentang waktu tempuh hidup manusia berbanding dengan kesempatan belajar dan berintegrasi dengan alam. umur saya sekarang 28, sedangkan bi rasih katakanlah 80 tahun. waktu tempuh bi rasih jelas sudah lama sekali. dengan waktu tempuh yang seluuamaa itu, sudah sampai manakah bi rasih, dan sudah sampai manakah saya?

lalu tentang kesempatan dan pilihan.
dari jalan hidup bi rasih yang sering didongengkan ibu saya, nampaknya kesempatan dan pilihan bi rasih untuk hidup lebih baik (setidaknya dalam standar materi orang "modern") sangat terbatas, dan mungkin dengan pilihan yang sangat terbatas itu bi rasih pernah salah pilih, bingung memilih, atau tidak memilih sama sekali. sehingga siklus hidupnya : lahir, menjadi tua, dan mati. tanpa banyak orang mengenalnya, dan jika pun sudah tiada, para pengenangnya hanya bisa dihitung dengan jari. ia tidak meninggalkan banyak hal di dunia ini.
sedangkan saya dianugerahi banyak kesempatan dan banyak pilihan. sehingga dengan waktu tempuh yang lebih singkat, jarak tempuh saya sudah lebih jauh dibanding bi rasih. saya juga pernah salah pilih, tidak memilih, dan bingung memilih, atau memilih bingung. seringkali pula mensia-siakan banyak kesempatan. tetapi jika saya mati, mungkin lebih banyak yang mengenang saya dibanding bi rasih. meski tidak menjamin kenangan baik lebih banyak dari kenangan buruk tentang saya.

nah, bi rasih membuat saya merenung-renung nung, tentang apa itu pilihan, apa itu kesempatan, apa itu waktu tempuh hidup, apa itu jarak tempuh hidup. dan sudah sampai mana saya?

bagaimana dengan anda sodara sodari? sudah sampai mana?

**hehe, jika pak karno punya marhaenisme, sepertinya saya punya bi rasihisme :))

Tidak ada komentar: